Dunia memang sudah menapak di abad 21 yang disebut-sebut sebagai abad kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dimana salah satu relevansinya adalah HARUSnya kualitas kesehatan yang sudah pada level Zero discrimination terhadap semua jenis penyakit, termasuk TB (Tuberkulosis).
Bismillahirrahmaanirrahiim, Informasi dan pengetahuan mengenai TB memang saat ini lebih mudah didapat, akan tetapi penyebaran informasi tersebut belum merata di semua lapisan masyarakat. Masih cukup banyak masyarakat yang awam tentang apa itu TB, siapa saja yang bisa terjangkit penyakit ini, mengapa bisa terpapar bakteri Tuberkulosis, kapan bisa tertular/menularkan TB dan bagaimana cara mencegah serta mengobat TB. Tak hanya itu, fakta yang masih menjadi PR besar terkait derajat kesehatan yang berpengaruh terhadap penyebaran TB adalah kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memelihara kesehatan masih perlu ditingkatkan.
Kenapa dan bagaimana Stigma Negatif terhadap penderita TBC bisa terjadi ya?
Bila stigma adalah sikap atau attitude negatif yang berhubungan atau dipengaruhi dari keyakinan atau pengetahuan [seseorang] yang terbatas, maka diskriminasi adalah ungkapan pragmatis berupa perilaku atau tindakan yang dilakukan terhadap orang lain. Stigma dan diskriminasi pada umumnya saling berkaitan erat yang membuat seseorang memiliki pandangan negatif terhadap orang lain [kelompok masayarakat tertentu] yang dianggap mempunyai sesuatu yang tidak baik.
Ketidaktahuan bisa diakibatkan karena memang tidak tahu atau memperoleh informasi yang tidak akurat. Dan jika hal ini terkait dengan penyakit TB, maka akan menjadi barier dan pemicu timbulnya stigma di masyarakat karena mereka mendapatkan pengetahuan tentang TB secara sepotong-spotong ataupun tidak tepat sehingga sampai saat ini masih banyak orang yang menganggap penyakit TB sebagai:
- penyakit kutukan yang tidak bisa disembuhkan/mematikan, padahal view of pointnya adalah pengobatan TB memang minimal HARUS 6 bulan secara kontinyu dan disiplin mematuhi petunjuk dokter;
- penyakit menurun yang tak ada obatnya, misalnya sang ayah menderita TB, jika anaknya juga terkena TB dianggap sebagai hal yang wajar karena sudah membawa penyakit bawaan dari orang tuanya. Padahal sumbernya jelas PENULARAN akibat tinggal secara bersama-sama dalam satu rumah dan selama si bapak mengidap penyakit TB tidak ada upaya pengobatan yang comprehensive.
Korelasi Stigma dan Diskriminasi
Berawal dari ketidaktahuan tentang apa, mengapa dan bagimana penyakit TB apalagi jika ditambah dengan informasi yang tidak benar, membuat orang-orang yang berada di sekitar penderita TB menjaga jarak dengan mengucilkan, menjauhi, antipati dan yang lebih parahnya bilamana sikap-sikap tersebut menyebar pada anggota masyarakat lainnya. Ketika stigma + diskriminasi telah berkoloni menjadi satu kesatuan, maka akan memperparah kondisi penderita TB khususnya dan penanggulangan TB itu sendiri. Bukankah terinfeksi dan menjadi penderita TB saja sudah merupakan situasi sulit yang harus dihadapi oleh seseorang: tidak bisa beraktifitas secara maksimal atau bahkan harus beristirahat total sementara biaya hidup sehari-hari tak mungkin ikut dihentikan? Kemudian masih diberi “bonus” dengan stigma dan diskriminasi dari orang-orang di lingkungan sekitarnya, alhasil penderita TB jadi enggan untuk pergi berobat meskipun sudah tahu jika pengobatannya gratis.
Jikalau pun sudah menjalani pengobatan bisa jadi akan terputus di tengah – tengah masa pengobatan karena:
- menutup diri/menutupi penyakitnya karena tidak ingin dijauhi oleh masyarakat sehingga penyakitnya tidak terdeteksi secara cepat
- pesimis akut jika penyakitnya bisa disembuhkan karena waktu pengobatannya lama
- tidak punya motivasi untuk sembuh manakala lebih banyak orang yang memiliki stigma negatif akan penyakitnya dan tidak ada pula orang yang mendampingi dalam menjalani proses pengobatannya.
- penyakit semakin parah karena terlambat menjalani terapi pengobatan
- jumlah penderita TB semakin banyak bilamana orang yang sudah positif menderita TB tidak terdeteksi jenis penyakitnya karena sikap menutup diri di atas.
- stigmatisasi makin merajalela, ketakutan semakin menjadi dan kematian akibat TB akan semakin tinggi pula
Lantas, Bagaimana Mengurai Stigma Negatif dan Sikap Diskriminasi terhadap penderita TB ?
Faktor utama penyebab adanya stigma dan diskriminasi berasal pengetahuan tentang TB yang belum merata, maka untuk menguraikan permasalahan tersebut adalah dengan meningkatkan pengetahuan dan meningkatkan kepedulian akan kebutuhan pribadi dan orang lain untuk hidup sehat. Kesehatan adalah Hak Asasi Manusia yang meliputi hak untuk mengetahui dan melindungi kondisi kesehatan pribadi, hak untuk mempertahankan derajat kesehatan pribadi serta hak untuk meningkatkan kesehatan pribadi keluarga dan masyarakat. Selaras dengan hal ini pula bahwa faktor utama penyembuhan dan upaya pencegahan TB adalah pada disiplin dan upaya meningkatkan pengetahuan, mulai dari keluarga sebagai unit terkecil dari lingkungan masyarakat hingga di tingkat lokal maupun nasional menjadi amat penting guna menciptakan lingkungan yang lebih bersahabat bagi penderita TB dengan tanpa menularkan bakteri tuberkulosis pada orang yang sehat di sekitarnya.
Oleh sebab itu yang pertama perlu dipahamkan ke semua lini masyarakat adalah penyakit TB TIDAK SULIT untuk dihindari. Dengan mengetahui dan memahami bahwa Mycobacterium tuberculosis yang menjadi penyebab TB berkembang dengan cepat pada wilayah yang berpopulasi padat, ruangan dengan ventilasi yang tidak lancar dan lingkungan yang tidak hygiene, maka masyarakat dengan kesadaran sendiri akan berperilaku hidup yang tidak berisiko terhadap penyakit TB dengan menjalani pola hidup sehat yang meliputi:
- pola makan yang memenuhi aspek minimal 4 sehat,
- pola tempat tinggal yang bersih dan memiliki ventilasi cukup untuk sirkulasi udara
- dan pola aktifitas sehari-hari yang warnai gerak fisik [olah raga] yang cukup.
Yang kedua, perlu dimasyarakatkan pengetahuan mengenai cara-cara penularan bakteri TB. Dengan mengetahui titik-titik kritis yang menjadi jalan masuk dan penyebaran penyakit TB, maka masyarakat akan menjadi aware untuk bersikap preventif dengan tetap perduli/memberikan support moril dan bantuan yang dibutuhkan jika menemukan orang-orang di sekitarnya sedang terkena penyakit TB, yaitu dengan berperilaku:
- Menggunakan masker untuk mencegah penyebaran bakteri penyebab TBC.
- Meminimalkan kontak dengan banyak orang JIKA di suspect sebagai penderita penyakit TBC aktif.
- Penyakit TB sangat bisa untuk disembuhkan dan pengobatan TB gratis sehingga seseorang yang teridentifikasi penyakit TB mau menjalani pengobatan dan punya motivasi yang kuat untuk sembuh.
- Masa pengobatan TB minimal 6 bulan atau sesuai dengan hasil diagnosa dari rumah sakit.
- Selama masa pengobatan harus dijalani secara disiplin dan kontinyu sesuai yang telah diresepkan oleh dokter atau petugas kesehatan.
- Bersikap co-operative dengan tidak meludah [mengeluarkan dahak] sembarang tempat, serta terbiasa menggunakan masker manakala perlu berinteraksi dengan orang lain.
EPILOG
Mengurai Stigma dan Diskriminasi Menjadi Keperdulian Terhadap Penderita TB memang bukan hal yang mudah, tapi juga BUKAN hal yang mustahil untuk dilakukan. Seperti tercermin dalam bait lagu “Usah Kau simpan Lara Sendiri” berikut ini:
……………………….
letakkanlah tanganmu di atas bahuku
biar terbagi beban itu dan tegar dirimu
di depan sana cahya kecil 'tuk memandu
tak hilang arah kita berjalan... menghadapinya ...
sekali sempat kau mengeluh kuatkah bertahan
satu persatu jalinan kawan beranjak menjauh
kudatang sahabat bagi jiwa
saat batin merintih usah kau lara sendiri
masih ada asa tersisa ...
………………………………..
Dengan membangun jaring-jaring penyebaran informasi dan pengetahuan yang comprehensive mengenai penyakit TB melalui berbagai media, baik on line, off line, on air maupun organisasi kemasyarakatan di tingkat RT/RW, maka stigmatisasi di masyarakat menurun akan secara linear akan dan otomatis diskriminasi juga semakin berkurang. Maka secara bersama-sama kita bisa mencapai tujuan pengendalian TB di Indonesia yaitu:menurunnya jumlah kasus baru TB dengan target jangka panjang adalah zero new infection); menurunnya diskriminasi hingga ke level zero discrimination; dan otomatis menurunnya angka kematian akibat penyakit TB yang serendah mungkin.
Informasi lebih lengkap, bisa dilihat dari beberapa Referensi TB berikut ini:
1. http://www.tbindonesia.or.id/
2. www.stoptbindonesia.org
3. www.tbdayindonesia.org
4. www.pppl.kemkes.go.id