Pada umumnya sekolah-sekolah sudah mengajarkan para siswa untuk cinta lingkungan. Salah satunya melalui edukasi membiasakan untuk membuang sampah pada tempat sampah yang sudah disediakan sesuai jenis sampah yaitu organik dan anorganik.
Bismillahirrahmaanirrahiim, saya lihat di sekolah juga telah tersedia bak-bak sampah dilengkapi identitas sesuai jenis sampah. Prinsip 3R ( reuse, reduce, recycle) juga sudah ditanamkan di sekolah-sekolah. Jadi bagian orang tua adalah bagaimana memberikan pengertian mengenai konsep “don’t (just) recycle” pada anak-anak agar setiap keputusan yang akan dibuat diawali dengan think first atau dipikirkan dulu.
Don't (just) recycle, jangan hanya karena bisa di daur ulang, atau digunakan dalam fungsi yang lain sehingga semacam ada toleransi "gak apalah memilih atau menggunakan produk yang berkemasan plastik ini, kan bisa digunakan lagi..?" Sepintas memang ada benarnya karena sampah/limbah kemasan plastiknya masih bisa dimanfaatkan lagi. Tapi bukankah ending tetap akan jadi sampah plastik yang di buang?
Gerakan #NoStraw Langkah Kecil Yang Bermakna Besar
Back to the topic bagaimana agar anak-anak memiliki pola pikir untuk mempertimbangkan penggunaan produk yang seminimal mungkin memunculkan sumber sampah plastik.
“ Yang penting tidak buang sampah sembarangan, terus nanti kalau sudah di TPA kan ada yang mengurusi agar bisa 3R tho, Bund?” mendengar pendapat Aida ini, sebenarnya saya ingin memberikan penjelasan bahwa mengaplikasikan prinsip 3R pada intinya hanya bersifat “delay time” atau menunda sementara waktu.
Dampak lingkungan akibat penggunaan sedotan plastik |
Yang bisa di-reuse dan recycle pun pada akhirnya benar-benar jadi sampah harus dibuang. Dan siapa yang bisa menjamin kalau semua sampah di seluruh TPA Indonesia dikelola secara 3R? Tapi saya segera ingat jika sekedar bilang jangan ini, itu, mestinya begini dan begitu, bisa jadi akan dianggap sosok ibu yang cerewet, suka mengatur dan mendoktrin. Atau juga kalimat panjang saya hanya lewat dan berlalu bersama angin.
Perlu mencari view of value untuk dirinya sendiri sehingga lebih mudah membekaskan kesan dan bisa diterima nalar anak-anak tentang konsep untuk re-Think sebelum memutuskan membeli sesuatu barang-barang manufacture. Nah, bukankah pada dasarnya orang akan mau melakukan sesuatu kalau ada manfaat langsung untuk dirinya?
Saya mencoba mengambil asas dasar ini untuk mengemas penyampaian pentingnya think first ke Aida. Selain karena Aida yang menginjak SMP ini tinggal di asrama dan mulai memanage uang dan belanja sendiri, juga karena Aida dan semua anak-anak kelak akan menjadi pelaku sejarah dan berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan.
Setelah mencari-cari ‘subyek’ apa yang bisa mengenai sasaran, saya pun mengawali dengan penekanan tentang hemat uang. Maka, setiap kali belanja bareng saya mengatakan kalimat-kalimat singkat saat mengambil barang yang hendak kami beli.
“ Kenapa ambil yang kemasan sachet, Da?”
“ Praktis Bund, kalau mau bikin susu di asrama “
“ Tapi hitungan harganya lebih murah jika beli yang kemasan besar lho?” Aida tidak langsung menjawab, mungkin dia masih menghitung apa benar lebih murah.
“ Selain itu, sebulan habis tuh sekotak susu itu. Jadii…..”
“ Iya Bund, enakan beli kemasan besar gini ya? lebih murah jadinya”
Setiap kali acara belanja bareng, baikke toko, mall atau bahkan ke pasar tradisional, dan ada celah untuk mengajak Aida memilih dan memilah barang-barang yang hendak dibeli, saya berusaha menyertakan kalimat-kalimat singkat yang sederhana.
Di awali dengan tujuan hemat uang, kemudian sesekali saya ajak Aida untuk “melihat” potensi pencemaran lingkungan yang berasal dari perilaku kita bilamana tidak bijak untuk think first. Seperti libur semesteran beberapa waktu lalu, kami pun belanja bareng. Mumpung lama di rumah, jadi sekalian belanja logistik untuk dibawa ke asrama.
“Bund, aku ambil deterjennya yang 1 kg ya. Kan bisa hemat sekaligus mengurangi jumlah sampah plastik tho?”
“ Hebat, tanda-tanda kamu sudah mulai dewasa neh “
“ Aku itu masih anak-anak yang akan remaja Bund….”
“ Hedew, istilahnya panjang banget? Mau bilang sudah ABG kan?”
Semoga saja, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, semakin luas pemahaman Aida mengenai think first. Bahwa think first sejatinya tak hanya untuk mendahului pola pikir 3R [reuse, reduce, recycle] terhadap sisa/bekas barang konsumtif. Tapi lebih luas dari itu, think first seyogyanya melandasi setiap pengambilan keputusan dan pilihan.
Noted: created On February 1, 2015